Jumat, 22 Oktober 2010

FILSAFAT


FILSAFAT SEBAGAI ILMU PENGETAHUAN

Filsafat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan karena filsafat merupakan induk dari semua ilmu pengetahuan dan mempunyai peranan yang mendasar dalam sebuah pendidikan. Sehingga keberadaan filsafat yang berasal dari pemikiran seseorang yang dapat mempengaruhi aspek hidup manusia secara tidak perseorangan ini sangat diakui keberadaannya. Karena sifatnya yang sangat rasional dan merupakan buah pemikiran yang berdasarkan empiric yang dilakukan oleh para filosof sehingga menghasilkan suatu kebenaran yang dapat di implementasikan teori mereka masing-masing dalam kehidupan yang nyata.


PENGERTIAN FILSAFAT

Filasafat philoshopia (Yunani) berarti cinta pada ilmu pengetahuan / hikmat . Cinta dalm kebijaksanaan orang yang cinta pada ilmu pengetahuan disebut “philosophos” atau failasuf dalam ucapan bahasa Arabnya.

Prof. Ir. Poedjawijata dalam hal pembatasan nama filsafat itu menyatakan :

“Adapun kata filsafat itu kata Arab yang berhubung rapat dengan kata Yunani bahkan asalnyapun dari bahasa Yunani pula. Dalam bahasa Yunani kata Fhiloshopia itu merupakan kata majemuk yang terdiri dari filo dan sofia. Filo artinya cinta dalm ari yang seluas-luasnya, yaitu ingin dank arena itu lalu berusaha menapai yang di inginkan. Sofia artinya bijaksana atau pandai tahu dengan mendalam. Jadi menurut namanya sajafilsafat boleh ingin tahu dengan mendalam atau cinta kepada kebijaksanaan.

Pengertian filsafat juga berarti ilmu yang memperlajari akan fakta-fakta dari kenyataan yang ada dengan menggunakan logika, etika, estetika dan teori ilu pengetahuan yang bertujuan untuk mencari kebenaran.

Banyak definisi filsafat yang dikemukakan oleh para filosof diantaranya :

1. Plato (427 SM – 348 SM) , filsafat adalah ilu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang asli.

2. Aristoteles (382 SM – 322 SM ) ,filsafat adalah ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik dan etestika.

3. Descartes (2590 – 1650 ),filsafat ialah kumpulan segala ilmu pengetahuan dimana Tuhan, Alam dan manusia menjadi pokok penyelidikan.

4. Immanuel Kant (1724 – 1804 ), filsafat adalah ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan yang tercakup di dalamnya metafisika, etika, agama dan anthropologi.

Isi filsafat ditentukan oleh abyek apa yang dipikirkan. Obyek yang dipikirkan oleh filosof ialah segala yang ada dan yang mungkin ada. Obyek yang diselidiki oleh filosof ada obyek material, yaitu segala yang ada tadi tentang obyek material ini banyak yang sama dengan obyek materia sains

Selain obyek materia, yaitu sifat penyelidikan. Obyek forma filsafat adalah peyelidikan yang mendalam. Artinya, ingin tahunya filsafat adalah ingin tahu bagian dalamnya. Kata mendalam artinya ingin tahu tentang obyek yang tidak empiris.

Filsafat adalah ilmu yang mempelajari tentang segala sesuatu yang ada di alam semesta dan merupakan induk dari ilmu pengetahuan. Serta membahas 3 hal penting yaitu:

· Tuhan (Teologi).
· Manusia (Humanologi).
· Alam (Kosmologi).
Ciri ilmu filsafat yang membedakan dengan ilmu lain adalah:

Filsafat membahas ilmu secara sinopsis (menyeluruh).
Filsafat itu mendasar (radikal) atau membahas tuntas dari awal.
Filsafat selalu menanyakan sesuatu dibalik persoalan yang dihadapi dan dipelajari oleh ilmu (spekulatif) tersebut, menetapkan dan mengendalikan pada pikiran rasional dan berusaha mencari kebenaran.
Ada beberapa aliran filsafat yang merupakan pemikiran-pemikiran para pilosof dan berkembang dalam masyarakat dan mempraktekkannya, seperti:

· Empirisme yaitu menekankan pada pengalaman dan penghayatannya terhadap duniadan kehidupan.
· Rasionalisme yaitu pemikiran dan pertimbangan terhadap akal sehat.
· Idealisme yaitu pemikiran yang berdasarka ide, materi, dan perkembangan pada pemikiran jiwa dan raga.

DASAR-DASAR FILOSOFIS ILMU OLAHRAGA
(Suatu Pengantar)
Made Pramono
Intisari: Sport in our society is a part of common daily activity, and
also is an art of competition. Various aspects involved in sport events
such as human resources, buildings, investments, equipments, and
anyother needs. Internal problems such as efforts to gain the best
position in local, national, and international events implicate so many
other problems. Beside those problems, sport develops in any
scientific studies like Psychology of Sport, Politics of Sport, Law
Study of Sport, etc. All of those scientific studies are dimensions in
which sport requires an academic conscience in investigating
philosophical foundations of sport as science.
Kata Kunci: Ilmu Olahraga, kesadaran, dasar filosofis.
Kesadaran bahwa olahraga merupakan ilmu secara internasional mulai
muncul pertengahan abad 20, dan di Indonesia secara resmi dibakukan melalui
deklarasi ilmu olahraga tahun 1998. Beberapa akademisi dan masyarakat awam
memang masih pesimis terhadap eksistensi ilmu olahraga, khususnya di
Indonesia, terutama dengan melihat kajian dan wacana akademis yang masih
sangat terbatas dan kurang integral. Namun sebagai suatu ilmu baru yang diakui
secara luas, ilmu olahraga berkembang seiring kompleksitas permasalahan yang
ada dengan ketertarikan-ketertarikan ilmiah yang mulai bergairah menunjukkan
eksistensi ilmu baru ini ke arah kemapanan.
Filsafat, dalam hal ini dianggap memiliki tanggung jawab penting dalam
mempersatukan berbagai kajian ilmu untuk dirumuskan secara padu dan
mengakar menuju ilmu olahraga dalam tiga dimensi ilmiahnya (ontologi,
epistemologi dan aksiologi) yang kokoh dan sejajar dengan ilmu lain. Ontologi
membahas tentang apa yang ingin diketahui atau dengan kata lain merupakan
pengkajian mengenai teori tentang ada. Dasar ontologi dari ilmu berhubungan
dengan materi yang menjadi obyek penelaahan ilmu, ciri-ciri esensial obyek itu
yang berlaku umum. Ontologi berperan dalam perbincangan mengenai
pengembangan ilmu, asumsi dasar ilmu dan konsekuensinya pada penerapan
ilmu. Ontologi merupakan sarana ilmiah untuk menemukan jalan penanganan
masalah secara ilmiah (Van Peursen, 1985: 32). Dalam hal ini ontologi berperan
dalam proses konsistensi ekstensif dan intensif dalam pengembangan ilmu.
Epistemologi membahas secara mendalam segenap proses yang terlibat
dalam usaha untuk memperoleh pengetahuan. Ini terutama berkaitan dengan
metode keilmuan dan sistematika isi ilmu. Metode keilmuan merupakan suatu
prosedur yang mencakup berbagai tindakan pikiran, pola kerja, cara teknis, dan
tata langkah untuk memperoleh pengetahuan baru atau mengembangkan yang
telah ada. Sedangkan sistimatisasi isi ilmu dalam hal ini berkaitan dengan batang
Penulis adalah dosen Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Surabaya
Made, Dasar-dasar Filosofis
139
tubuh ilmu, di mana peta dasar dan pengembangan ilmu pokok dan ilmu cabang
dibahas di sini.
Aksiologi ilmu membahas tentang manfaat yang diperoleh manusia dari
pengetahuan yang didapatnya. Bila persoalan value free dan value bound ilmu
mendominasi fokus perhatian aksiologi pada umumnya, maka dalam hal
pengembangan ilmu baru seperti olahraga ini, dimensi aksiologi diperluas lagi
sehingga secara inheren mencakup dimensi nilai kehidupan manusia seperti etika,
estetika, religius (sisi dalam) dan juga interrelasi ilmu dengan aspek-aspek
kehidupan manusia dalam sosialitasnya (sisi luar aksiologi). Keduanya
merupakan aspek dari permasalahan transfer pengetahuan.
Relevansi filosofis ini pada gilirannya mensyaratkan pula komunikasi
lintas, inter dan muiltidisipliner ilmu-ilmu terkait dalam upaya menjawab
persoalan dan tantangan yang muncul dari fenomena keolahragaan. Dengan kata
lain, proses timbal balik yang sinergis antara khasanah keilmuan dan wilayah
praksis muncul, dan menjadi tanggungjawab filsafat untuk mengkritisi,
memetakan dan memadukan hal tersebut. Filsafat ilmu olahraga, dengan titik
tekan utama pada tiga dimensi keilmuan ini – ontologi, epistemologi, aksiologi –
mengeksplorasi ilmu olahraga ini secara mendalam. Ekstensifikasi dan
intensifikasi menjadi permasalahan yang amat menentukan eksistensi dan
perkembangan ilmu keolahragaan lebih jauh dari hasil eksplorasi ini.
Akar Eksistensi Olahraga
Olahraga, sebagaimana yang dikatakan Richard Scaht (1998: 124), seperti
halnya sex, terlalu penting untuk dikacaukan dengan tema lain. Ini tidak hanya
tentang latihan demi kesehatan. Tidak hanya permainan untuk hiburan, atau
menghabiskan waktu luang, atau untuk kombinasi dari maksud sosial dan
rekreasional. Olahraga adalah aktivitas yang memiliki akar eksistensi ontologis
sangat alami, yang dapat diamati sejak bayi dalam kandungan sampai dengan
bentuk-bentuk gerakan terlatih.
Olahraga juga adalah permainan, senada dengan eksistensi manusiawi
sebagai makhluk bermain (homo ludens-nya Huizinga). Olahraga adalah
tontonan, yang memiliki akar sejarah yang panjang, sejak jaman Yunani Kuno
dengan arete, agon, pentathlon sampai dengan Olympic Games di masa modern,
di mana dalam sejarahnya, perang dan damai selalu mengawal peristiwa
keolahragaan itu. Olahraga adalah fenomena multidimensi, seperti halnya
manusia itu sendiri.
Mitos dan agama Yunani awal menampilkan suatu pandangan dunia yang
membantu perkembangan kesalinghubungan intrinsik antara makna olahraga dan
budaya dasar. Keduanya juga merefleksikan kondisi terbatas dari eksistensi
keduniaan, dan bukan sebagai kerajaan transenden dari pembebasan. Nuansa
keduniawian tampak pula pada ekspresi naratif tentang kehidupan, rentang luas
pengalaman manusiawi, situasionalnya dan suka dukanya. Manifestasi kesakralan
terwujud dalam prestasi dan kekuasaan duniawi, kecantikan visual dan campuran
dari daya persaingan mempengaruhi situasi kemanusiaan (Hatab, 1998: 98).
Jurnal Filsafat, Agustus 2003, Jilid 34, Nomor 2
140
Budaya Yunani Kuno juga sepenuhnya bersifat agon, persaingan. Puisipuisi
Homer dan Hesiod menampilkan diri sebagai konflik di antara daya-daya
persaingan. Wajah realitas Yunani Kuno juga mewujud dalam daya-daya
persaingan ini: atletik, keindahan fisik, kerajinan tangan, seni-seni visual,
nyanyian, tarian, drama dan retorika (Crowell, 1998: 7).
Signifikansi agon dapat lebih dipahami dari pandangan tentang ideal
kepahlawanan. Dalam Iliad-nya Homer, keberadaan manusia secara esensial
adalah mortal dan terarah pada takdir negatif melampaui kendali manusia.
Kematian dapat mencapai kompensasi istimewa: keduniawian, kejayaan dan
kemasyhuran melalui pengambilan resiko dan pengkonfrontasian kematian pada
medan perang, melalui pengujian keberanian manusia melawan satria lain dan
kekuatan nasib. Hal terpenting di sini adalah bahwa makna keutamaan terhubung
dengan batas-batas dan resiko. Dapat digeneralisir – dalam Iliad itu – bahwa
tanpa kemungkinan untuk kalah atau gagal, kemenangan atau keberhasilan tak
akan berarti apa-apa (Hatab, 1998: 98).
Atletik (olahraga, dalam tulisan ini kadang-kadang disebut dengan atletik
untuk kepentingan penyesuaian konteks) berperan penting dalam dunia Yunani
Kuno. Kata atletik berarti konflik atau perjuangan, dan dapat secara langsung
diasosiasikan dengan persaingan, di mana kompetisi di tengah-tengah kondisi
keterbatasan mambangkitkan makna dan keutamaan. Apa yang membedakan
kontes atletik dari hal-hal lain dalam budaya Yunani adalah bahwa atletik
menampilkan dan mengkonsentrasikan elemen-elemen duiniawi dalam
penampilan fisik dan keahlian, keindahan tubuh, dan hal-hal khusus dari tontonan
dramatis (Hatab, 1998: 99).
Kontes atletik, seperti yang tampak dalam Iliad, menunjukkan penghargaan
yang tinggi masyarakat Yunani terhadap olahraga yang terrepresentasikan
sebagai semacam ritual agama dan terorganisir dalam mana kompetisi-kompetisi
fisik ditampilkan sebagai analog mimetic (secara menghibur) dari penjelasan
agama – baik tentang nasib dan kepahlawanan – dan sebagai penjelmaan rinci
signifikansi kultural agon.
Sekarang, signifikansi olahraga menurun di dunia Yunani, justru dengan
datangnya statemen-statemen filsafat sebagai kompetitor kultural. Nilai penting
dari tubuh dan aksi secara bertahap dikalahkan oleh tekanan pada pikiran dan
refleksi intelektual. Ketertarikan terhadap transendensi spiritual dan tertib alam
menggeser pengaruh mitos-mitos dan religi seperti dijelaskan di atas. Meskipun
Plato dan Aristoteles mengusung nilai penting latihan fisik dalam pendidikan,
namun mereka memulai sebuah revolusi intelektual yang meremehkan nilai
penting kultural keolahragaan – “remeh” justru karena keterkaitan erat olahraga
dengan tubuh, aksi, perjuangan, kompetisi dan prestasi kemenangan (Hatab,
1998: 99).
Ekspresi Filosofis Kultur Olahraga
Friederich Nietzsche (terkenal dengan tesisnya: “Tuhan telah mati”)
termasuk filsuf yang pemikiran-pemikirannya berhutang banyak pada dunia
Made, Dasar-dasar Filosofis
141
Yunani Kuno yang menghargai atletik sejajar dengan intelek. Nietzsche adalah
seorang filsuf kontroversial yang paling banyak dirujuk sebagai penyumbang tak
langsung debat akademis tentang kaitan pemikiran filsafat dan ilmu
keolahragaan. Bahkan beberapa penulis, seperti Richard Schacht, menyebut
“filsafat olahraga Nietzscheian” sebagai istilah penting dalam bahasan ilmiahnya,
Nietzsche and Sport, meskipun istilah ini masih perlu dicurigai sebagai terlalu
maju dan ahistoris, oleh karena pemikir lain seperti Lawrence J. Hatab (1998: 78)
menyatakan bahwa Nietzsche sedikit sekali atau bahkan tak pernah bicara tentang
aktivitas atletik dan olahraga secara langsung. Hatab mengeksplorasi Nietzsche
hanya dalam kaitan pemikirannya yang dapat diasosiasikan dan mengarah pada
tema keolahragaan.
Hatab mengeksplorasi beberapa pemikiran Nietzsche seperti will to power,
sublimation, embodiment, spectacle dan play yang terarah pada aktivitas atletik
dan event-event olahraga (Hatab, 1998: 102). Dari sini, dapat dimaknai bahwa
arah pemikiran yang berhubungan secara historis pada dunia keolahragaan
termasuk dalam ekspresi pemikiran filosofis, dan oleh karenanya, ilmu
keolahragaan memiliki akar filosofisnya.
Perspektif naturalistik Nietzsche ini menjelaskan mengapa banyak orang
menyukai permainan dan menyaksikan pertandingan olahraga, dan kenapa halhal
tersebut dapat dianggap memiliki nilai dan manfaat yang besar. Pertunjukan
atletik adalah penampilan dan proses produksi makna kultural penting. Ini dapat
dilihat dari efek kesehatan dan pengembangan keahlian fisik. Selain itu,
pertunjukan olahraga juga dapat dipahami sebagai tontonan publik yang
mendramatisir keterbatasan dunia yang hidup, prestasi teatrikal dari keadaan
umat manusia, pengejaran, perjuangan-perjuangan sukses dan gagal. Dari sudut
pandang pengembangan sumber daya manusia, sudah jelas bahwa olahraga dapat
menanamkan kebajikan-kebajikan tertentu dalam keikutsertaan disiplin, kerja
tim, keberanian dan intelegensi praktis (Hatab, 1998: 103).
Konsekuensi dari semua itu, permainan olahraga adalah cukup “serius”
untuk diangkat ke tingkat penghargaan budaya yang lebih tinggi (Hatab, 1998:
106), sehingga filsafat mau tak mau harus berani mengkaji ulang “tradisinya”
sendiri yang menekankan jiwa atas tubuh, harmoni atas konflik, dan mengakui
bahwa olahraga memiliki kandungan nilai-nilai fundamental bagi keberadaan
manusia. Begitulah, di dunia Yunani Kuno, lokus asal muasal pemikiran filsafat
Barat, olahraga tak hanya populer, tetapi menempati penghargaan kultural
terhormat.
Namun demikian, Steven Galt Crowell (1998: 113) dengan mengeksplorasi
secara mendalam feneomena olahraga sebagai tontonan dan permainan,
mengungkap sisi-sisi buramnya: brutalitas, agresifitas, dan “merusak kesehatan”.
Dalam hal yang terakhir, olahraga disebutnya sebagai alat alamiah untuk “war on
drugs”, olahraga ditampilkan sebagai alternatif pengobatan ketika para praktisi
terkemuka menemukan obat-obatan sebagai bagian alami dari gaya hidup atlit
olahraga.
Apabila di jaman Yunani Kuno atlitnya mendemonstrasikan atletik dengan
Jurnal Filsafat, Agustus 2003, Jilid 34, Nomor 2
142
keahlian yang langsung berimplikasi pada keseharian si atlit, di mana nilai-nilai
keksatriaan dimunculkan, pada atlit sekarang keberanian sedemikian otonomnya,
sehingga yang menampak adalah demonstrasi ketiadaartian kecakapan. Tontonan
menawarkan individu-individu yang mengkonsentrasikan seluruh keberadaannya,
ke dalam satu permasalahan. Individu-individu tersebut meniru apa yang oleh
Nietzsche disebut “inverse cripples” (ketimpangan terbalik), di mana keberadaan
manusia “kurang segala sesuatunya kecuali untuk satu hal yang mereka terlalu
banyak memilikinya – keberadaan manusia yang adalah tak lain daripada mata
besar, mulut besar, perut besar, segalanya serba besar” (Crowell, 1998: 115).
Atlit sekarang bukanlah Tuan, tetapi Budak, bukan teladan dari apa artinya
menjadi manusia, tetapi sekedar fokus untuk hidup yang tak dialami sendiri dari
penonton yang pujian-pujiannya menjadi rantai yang mengikat atlit itu sendiri
(teralienasi - dalam bahasa patologi sosialnya Erich Fromm). Dari tontonan
kompetitif seperti ini, tak ada artinya “aturan urutan juara”: kemenangan di beli
dan dibayarkan, olahraga sebagai tontonan, dan ini secara esensial berarti bicara
tentang hidup yang tak dialami sendiri.
Deklarasi Ilmu Olahraga
Beberapa pendapat di atas bagaimanapun mencerminkan suatu perhatian
filosofis yang diakronik terhadap olahraga sebagai fenomena yang monumental
di jaman ini (setidaknya dengan mengukur antusiasme masyarakat awam
terhadap tontonan olahraga baik langsung di stadion maupun di televisi, atau
dengan larisnya majalah atau kolom keolahragaan, berikut fenomena
“megasponsor” dan perjudian di dalamnya). Lalu, bagaimana tuntutan
perkembangan keolahragaan sebagai ilmu itu di Indonesia khususnya dan
masyarakat akademis dunia pada umumnya?
Terdorong oleh rasa ingin mencari jawaban tepat terhadap pertanyaan:
apakah olahraga merupakan ilmu yang berdiri sendiri, dan sebagai tindak lanjut
dari pertemuan sebelumnya, maka diselenggarakanlah pada tahun 1998 di
Surabaya suatu Seminar Lokakarya Nasional Ilmu Keolahragaan. Seminar ini
mampu melahirkan kesepakatan tentang pendefinisian pengertian olahraga yang
dikenal dengan nama Deklarasi Surabaya 1998 tentang Ilmu Keolahragaan,
sebagai jawaban bahwa olahraga merupakan ilmu yang mandiri. Sebagai ilmu
yang mandiri, olahraga harus dapat memenuhi 3 kriteria: obyek, metode dan
pengorganisasian yang khas, dan ini dicakup dalam paparan tentang ontologi,
epistemologi dan aksiologi (Komisi Disiplin Ilmu Keolahragaan, 2000: 1-2, 6).
Dari sini, filsafat ilmu muncul sebagai suatu kebutuhan.
Earle F. Zeigler (1977) mengaitkan pendidikan keolahragaan dengan
filsafat olahraga dengan mencoba mengurai berbagai aspek yang dianggap terkait
dengan berbagai dimensi yang muncul dari fenomena keolahragaan, terutama
dalam hal dimensi edukatifnya. Tampaknya banyak penelitian serupa yang
menggagas filsafat ilmu keolahragaan dalam tinjauan yang kurang lebih
diasalkan pada pendidikan jasmani. C.A. Bucher dengan bukunya Foundation of
Physical Education and Sport (1995), William H. dalam buku Physical
Made, Dasar-dasar Filosofis
143
Education and Sport a Changing Society (1987), adalah beberapa karya yang
bernuansa filsafat ilmu keolahragaan, namun pembahasan yang diambil lebih
merupakan integrasi dari berbagai disiplin ilmu terkait untuk membangun dasardasar
ilmu keolahragaan, sedangkan hakikat dimensi ontologi, epistemonogi dan
aksiologi belum sepenuhnya digarap mendalam dan mengakar.
Aspek pertama, ontologi, setidaknya dapat dirunut dari obyek studi ilmu
keolahragaan yang unik dan tidak dikaji ilmu lain. Sebagai rumusan awal,
UNESCO mendefinisikan olahraga sebagai “setiap aktivitas fisik berupa
permainan yang berisikan perjuangan melawan unsur-unsur alam, orang lain,
ataupun diri sendiri”. Sedangkan Dewan Eropa merumuskan olahraga sebagai
“aktivitas spontan, bebas dan dilaksanakan dalam waktu luang”. Definisi terakhir
ini merupakan cikal bakal panji olahraga di dunia “Sport for All” dan di
Indonesia tahun 1983, “memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan
masyarakat” (Rusli dan Sumardianto, 2000: 6).
“Aktivitas”, sebagai kata yang mewakili definisi olahraga, menunjukkan
suatu gerak, dalam hal ini gerak manusia, manusia yang menggerakkan dirinya
secara sadar dan bertujuan. Oleh karena itu, menurut KDI keolahragaan, obyek
material ilmu keolahragaan adalah gerak insani dan obyek formalnya adalah
gerak manusia dalam rangka pembentukan dan pendidikan. Dalam hal ini,
raga/tubuh adalah sasaran yang terpenting dan paling mendasar.
Penelitian filosofis untuk itu sangat diharapkan menyentuh sisi tubuh
manuisiawi sebagai kaitan tak terpisah dengan jiwa/pikiran, apalagi dengan
fenomena maraknya arah mode atau tekanan kecintaan masyarakat luas terhadap
bentuk tubuh ideal.
Seneca, seorang filsuf dan guru kaisar Nero mengatakan: “oran dum es ut
sit ‘Mens Sana in Corpore Sano’” yang secara bebas dapat ditafsirkan bahwa
menyehatkan jasmani dengan latihan-latihan fisik adalah salah satu jalan untuk
mencegah timbulnya pikiran-pikiran yang tidak sehat yang membawa orang
kepada perbuatan-perbuatan yang tidak baik (Noerbai, 2000: 35).
Ilmu keolahragaan sebagai satu konsekuensi ilmiah fenomena keolahragaan
berarti pengetahuan yang sistematik dan terorganisir tentang fenomena
keolahragaan yang dibangun melalui sistem penelitian ilmiah yang diperoleh dari
medan-medan penyelidikan (KDI Keolahragaan, 2000: 8).
Aspek kedua sebagai dimensi filsafat ilmu adalah epistemologi yang
mempertanyakan bagaimana pengetahuan diperoleh dan apa isi pengetahuan itu.
Ilmu keolahragaan dalam pengembangannya didekati melalui pendekatan
multidisipliner, lintasdisipliner dan interdisipliner. Pendekatan multidisipliner
ditandai oleh orientasi vertikal karena merupakan penggabungan beberapa
disiplin ilmu. Interdisipliner ditandai oleh interaksi dua atau lebih disiplin ilmu
berbeda dalam bentuk komunikasi konsep atau ide. Sedangkan pendekatan
lintasdisipliner ditandai orientasi horisontal karena melumatnya batas-batas ilmu
yang sudah mapan.
Ketiga pendekatan di atas dalam khasanah ilmu keolahragaan membentuik
batang tubuh ilmu sebagai jawaban atas pertanyaan apa isi ilmu keolahragaan itu.
Jurnal Filsafat, Agustus 2003, Jilid 34, Nomor 2
144
Inti kajian ilmu keolahragaan adalah Teori Latihan, Belajar Gerak, Ilmu
Gerak, Teori Bermain dan Teori Instruksi yang didukung oleh ilmu-ilmu
Kedokteran Olahraga, Ergofisiologi, Biomekanika, Sosiologi Olahraga, Pedagogi
Olahraga, Psikologi Olahraga, Sejarah Olahraga dan Filsafat Olahraga. Akar dari
batang tubuh ilmu keolahragaan terdiri dari Humaniora – terwujud dalam
antropokinetika; Ilmu Pengetahuan Alam – terwujud dalam Somatokinetika; dan
Ilmu Pengetahuan Sosial – terwujud dalam Sosiokinetika (KDI Keolahragaan,
2000: 33-34).
Aksiologi - aspek ketiga - berkaitan dengan nilai-nilai, untuk apa manfaat
suatu kajian. Secara aksiologi olahraga mengandung nilai-nilai ideologi, politik,
ekonomi, sosial, budaya dan strategis dalam pengikat ketahanan nasional (KDI
Keolahragaan, 2000: 36). Sisi luar aksiologis ini menempati porsi yang paling
banyak, dibandingkan sisi dalamnya yang memang lebih sarat filosofinya.
Kecenderungan-kecenderungan sisi aksiologi keolahragaan ini secara
akademis menempati sisi yang tak bisa diabaikan, bahkan cenderung paling
banyak diminati untuk dieksplorasi. Ini termasuk dari sisi estetisnya, di mana
Randolph Feezell mengulasnya secara fenomenologis, selain dimensi naratifnya
(Feezell, 1989: 204-220). Kemungkinan nilai etisnya, Dietmar Mieth (1989: 79-
92) membahasnya secara ekstensif dan komprehensif. Thomas Ryan (1989: 110-
118) membahas kaitan olahraga dengan arah spiritualitasnya. Nancy Shinabargar
(1989: 44-53) secara sosiologis membahas dimensi feminis dalam olahraga. Yang
tersebut di atas adalah beberapa contoh cakupan dimensi ilmu keolahragaan
dalam filsafat ilmu, di mana ekstensifikasi dan intensifikasi masih luas
menantang.
Bertaburan dan tumbuh suburnya ilmu-ilmu yang berangkat dari dimensi
ontologi, epistemologi dan aksiologi, membuktikan bahwa apa yang Paul Weiss
tulis dalam bukunya Sport: A Philosophy Inquiry (1969: 12) bahwa semakin
banyak renungan filosofis yang mengarahkan keingintahuan mendalam dan
keterpesonaan terhadap olahraga, memiliki daya prediktif, persuasif dan benar
adanya. Ini perlu dimaknai secara operasional-ilmiah. Sampai dengan abad 21 ini,
fenomena signifikansi dan kejelasan transkultural dari olahraga menempati salah
satu koridor akademis ilmiah yang membutuhkan lebih banyak penggagas dan
kreator ide (Hyland, 1990: 33).
Kecenderungan minat keilmuan yang makin ekstensif dan intensif ini
membawa implikasi logis bagi filsafat untuk mengasah mata pisau “keibuannya”,
mengingat dari sejarahnya, filsafat dianggap mater scientarum: “ibunya ilmu”,
dalam memberi tempat bagi pertanyaan dan jawaban mendasar atau inti isi ilmu
keolahragaan sekaligus mengasuh cabang-cabang ranting ilmu keolahragaan ini.
Kesimpulan
Ilmu Olahraga merupakan pengetahuan yang sistematis dan terorganisir
tentang fenomena keolahragaan yang memiliki obyek, metode, sistematika ilmiah
dan sifat universal yang dibangun melalui sebuah sistem penelitian ilmiah yang
diperoleh dari macam-macam penyelidikan, yang produk nyatanya tampak dalam
Made, Dasar-dasar Filosofis
145
batang tubuh pengetahuan ilmu olahraga dengan pendekatan pengembangan
keilmuan yang multidisipliner sehingga secara aksiologis pemaknaan domain
perilaku gerak – olahraga – membuka spektrum nilai yang normatif-teoritis
(etika, estetika, kesehatan beserta pengembangannya) dan nilai-nilai yang praktisprofesional
(pengajaran dan pelatihan, manajemen, rehabilitasi ataupun rekreasi
olahraga beserta pengembangannya).
Pembahasan yang mencoba mengintegrasikan disiplin ilmu untuk
memaknai dasar-dasar teoritis ilmu keolahragaan sebagai ilmu baru memang
sudah ada dan dalam penelitian ini digunakan sebagai referensi, namun relevansi
filsafati-ilmiahnya masih sangat minim. Meskipun pro dan kontra ilmu
keolahragaan sebagai suatu ilmu mandiri sudah surut, namun tantangan yang
muncul kemudian sebagai kompensasi eksistensi ilmu keolahragaan melalui
tantangan itu adalah ekstensifikasi dan intensifikasi ilmu keolahragaan yang
mensyaratkan filsafat sebagai eksplorer pokoknya.

Senin, 18 Oktober 2010


BALI mungkin dalam benak sebagian orang kalau mendengar kata ini pasti terbayang dengan keindahan alam dan pemandanganya.....
tapi berbeda dengan saya saya justru terbayang dengan bule dan sebuah ledakan bom pada tempo itu....

sekilas tentang bali
Bali adalah nama salah satu provinsi di Indonesia, dan juga merupakan nama pulau terbesar yang menjadi bagian dari provinsi tersebut. Selain terdiri dari Pulau Bali, wilayah Provinsi Bali juga terdiri dari pulau-pulau yang lebih kecil di sekitarnya, yaitu Pulau Nusa Penida, Pulau Nusa Lembongan, Pulau Nusa Ceningan, dan Pulau Serangan.
Bali terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau Lombok. Ibukota provinsinya ialah Denpasar, yang terletak di bagian selatan pulau ini. Mayoritas penduduk Bali adalah pemeluk agama Hindu. Di dunia, Bali terkenal sebagai tujuan pariwisata dengan keunikan berbagai hasil seni-budayanya, khususnya bagi para wisatawan Jepang dan Australia. Bali juga dikenal dengan sebutan Pulau Dewata dan Pulau Seribu Pura.

Minggu, 17 Oktober 2010


Ubi caritas et amor, Deus ibi est. Kata bijak bahasa Latin ini berarti “Di mana ada cinta dan asmara, Allah ada di sana.” Orang sering berpikir positif tentang cinta tetapi sebaliknya cenderung memandang negatif tentang asmara. Asmara sering dijuluki cinta monyet. Asmara dianggap berbahaya karena bisa menjerumuskan orang ke tindakan yang terlanjur salah yang kemudian membawa penyesalan.

Apakah ini benar? Pandangan miring seperti ini mungkin saja mengingkari kebenaran bahwa baik cinta tulus dan asmara menggebu-gebu adalah sama-sama diciptakan Tuhan untuk kelangsungan hidup umat manusia. Jika Anda dilanda asmara, jangan khawatir, Tuhan ada di sana. Jika Anda mencintai seseorang dengan tulus, sudah pasti Tuhan juga ada di sana.

Selamat membaca kata-kata mutiara berikut ini. Jika ingin membaca dan menggunakannya dalam aktivitas Anda, silahkan klik file powerpoint ini yang disusun secara menarik! mutiara-kata-pepatah-cinta-perkawinan

Cinta menciptakan “kita” tanpa memusnahkan “saya.” (Leo Buscaglia)

Seorang wanita dengan seorang kekasih adalah malaekat. Seorang wanita dengan dua kekasih adalah monster. Seorang wanita dengan tiga kekasih adalah seorang wanita. (Victor Hugo)

Jika Anda berhasil merayu ibu, Anda akan memeluk putrinya. (Pepatah Rusia)

Cinta tidaklah masuk untuk tinggal di hatimu. Cinta bukanlah cinta sampai Anda mengeluarkannya. (Anonim)

Jangan pernah membuang kesempatan untuk menyatakan kepada seseorang bahwa Anda mencintainya. (H.Jackson Brown, Jr)

Omong kosong jika Anda bilang mencintai seseorang tapi Anda tak mau berkorban baginya. Tiada cinta tanpa jalan penderitaan karena melalui jalan penderitaan orang menemukan cinta yang tercerahkan. (S.Belen 2005)

Cinta dan skandal adalah pemanis teh yang terbaik. (Henry Fielding)

Cinta adalah sebuah cerutu yang dapat meledak yang kita dengan rela mengisapnya. (Lynda Barry)

Kita mudah ditipu oleh mereka yang kita cintai. (Moliere)

Demi sedikit cinta, Anda bayar seumur hidupmu. (Pepatah Yahudi-Jerman)

Cinta itu membutakan. Karena itu mengapa para kekasih ingin menyentuhnya. (Pepatah Jerman)

Cinta tak pernah tanpa beberapa robekan. (Pepatah Slowakia)

Cinta adalah buah yang berbuah tanpa mengenal musim. (Mother Teresa)

Cinta itu sempurna sesuai dengan proporsi kebebasannya. (Thomas Merton)

Afeksi tidak dapat diciptakan; ia hanya dapat dibebaskan. (Bertrand Russell)

Jika cinta ditekan, kebencian akan menggantinya. (Havelock Ellis)

Jika kekuasaan cinta mengatasi cinta kekuasaan, dunia akan mengetahui perdamaian. (When the power of love overcomes the love of power, the world will know peace). (Anonim)

Dalam cinta, satu tambah satu sama dengan satu. (Jean Paul Satre)

Mencintai dan menang adalah hal yang terbaik, yang terbaik berikutnya adalah mencintai dan kalah. (William MakepeaceThackeray)

Cinta romantis adalah cinta yang penuh nafsu seksual. Romantisme menggunakan keintiman seksual untuk menciptakan atau melipatgandakan kedekatan dan saling memenuhi. (Peter R Breggin)

Anda tidak boleh memaksa seks untuk melakukan pekerjaan cinta atau cinta untuk melakukan pekerjaan seks. (Mary McCarthy)

Di mana ada perkawinan tanpa cinta, akan ada cinta tanpa perkawinan. (Anonim).

Dalam hidup ini orang sering mengawini orang yang tidak dicintai dan mencintai orang yang tidak bisa dikawini. (S.Belen)

Cinta adalah satu-satunya kekuatan yang mampu mengubah seorang musuh menjadi seorang teman. (Martin Luther King, Jr)

Cinta dan telur itu terbaik ketika masih segar. (Pepatah Rusia)

Cinta adalah sebuah permainan di mana dua orang dapat bermain dan keduanya sama-sama menang. (Eva Gabor)

Cinta adalah latihan bebas untuk memilih. Dua orang saling mencintai hanya jika mereka cukup mampu hidup tanpa yang lain tetapi memilih untuk hidup satu dengan yang lain. (M.Scott Peck)

Perkawinan bukan sekadar hubungan spiritual dan pelukan bergairah; perkawinan juga adalah tiga kali makan sehari dan ingat membuang sampah. (Joyce Brothers)

Apa cara terbaik agar suamimu ingat hari ulang tahunmu? Kawinlah pada hari ulang tahunnya. (Cindy Garner)

Cinta sering membuat seorang paling pintar tampak bodoh, dan sama seringnya memberi kepintaran kepada orang yang tampak paling bodoh. (Pepatah Prancis)

Satu hal yang kita tidak pernah mampu memberi secukupnya adalah cinta. (Henry Miller)

Tiada pengobat cinta daripada lebih banyak mencintai. (Henry David Thoreau)

Seorang tidak jatuh ke “dalam” atau “keluar” dari cinta. Seorang bertumbuh

Ada satu tempat yang dapat Anda sentuh pada wanita yang mendorongnya menjadi ‘tergila-gila’. Hatinya. (Melanie Griffith)

Laki-laki selalu menginginkan menjadi cinta pertama seorang wanita. Wanita suka menjadi romance terakhir seorang laki-laki. (Oscar Wilde)

Perkawinan harus menjadi duet. Ketika seorang bernyanyi yang lain bertepuk tangan. (Joe Murray)

Sebuah perkawinan yang baik sekurang-kurangnya 80% nasib untung menemukan seorang yang tepat pada waktu yang tepat. Sisanya adalah saling percaya. (Nanette Newman)

Pesta perkawinan kita sudah berlalu bertahun-tahun yang lalu. Perayaannya berlanjut sampai hari ini. (Gene Perret)

Pesta hari ulang tahun perkawinan adalah perayaan cinta, saling percaya, kemitraan, toleransi, dan ketabahan. Urutannya bervariasi untuk suatu tahun tertentu. (Paul Sweeney)

Hal terbaik yang dapat terjadi pada pasangan yang kawin 50 tahun atau lebih adalah bahwa keduanya sama-sama bertumbuh menjadi rabun jauh. (Linda Fiterman)

Sebuah pelukan ibarat bumerang – Anda langsung mendapatkan kembali. (Bil Keane)

Ciuman tanpa pelukan ibarat bunga tanpa aroma wangi.

Bunyi sebuah ciuman tidak sekeras meriam; tetapi gemanya berlangsung jauh lebih lama. (OliverWendell Holmes)

Rantai tidak bersama-sama mengikat sebuah perkawinan. Benang-benang, ratusan benang tipislah yang menjalin dua orang bersama-sama melewati tahun demi tahun (Simone Signoret)

Cinta adalah sebuah bunga yang berubah menjadi buah dalam perkawinan – Pepatah Finlandia

Tiada kombinasi yang begitu menyenangkan seperti pria dan istri. (Menander)

Jumlah hutang-piutang antara dua orang yang kawin tak mungkin dapat dihitung. Itu adalah hutang tak terbatas, yang hanya dapat dilunasi di akhirat yang abadi. (Johann Wolfgang von Goethe)

Cinta yang sempurna kadang-kdang tidak datang sampai cucu yang pertama. (Pepatah Welsh)

(Sumber: wisesayings365.wordpress.com; www.vanillamist.com; efl.htmlplanet.com; www.brownielocks.com)

POINT.BLANK





















sebuah permainan online yang membuat orang jadi ketagihan...
bersukur lah bila anda tidak pernah mengenal game ini ....
tapi bagi yang mau coba2 silahkan daftar di sini


Mgapa hrs kata 'jatuh' brda d dpn kata 'cinta' ?


ap cnta mmang slalu identik dg musbah n mlapetaka?


mgpa hrs kata 'mati' yg brda dblakang kata 'cnta'?


apkh cnt mmg slalu mhdirkan sgumpal lara n stets airmt?


sjmlah ksh,prstwa,lhir n tmbuh bsma cnta.


tak jarng tdpat luka dstiap akhr crta.


ya,luka yg perih.


luka yg b'akhr dg tngisan pilu n ksdhan abadi.

TAPI......Mengapa Ada monyet d Belakang kata cinta..apakah cinta edentik dengan monyet...?????


Pemarah dan Bersabar

Hanya seorang yang pemarah yang bisa betul-betul bersabar. Seseorang yang tidak bisa merasa marah tidak bisa disebut penyabar, karena dia hanya tidak bisa marah. Sedangkan seorang lagi yang sebetulnya merasa marah, tetapi mengelola kemarahannya untuk berlaku baik dan adil adalah seorang yang berhasil menjadikan dirinya bersabar. Dan bila Anda mengatakan bahwa untuk bersabar itu sulit, Anda sangat tepat, karena kesabaran kita diukur dari kekuatan kita untuk tetap mendahulukan yang benar dalam perasaan yang membuat kita seolah-olah berhak untuk berlaku melampaui batas.
~ Mario Teguh